Keluarga-keluarga Iran yang melarikan diri ke Turki menghadapi dilema berat: tetap tinggal dalam ketidakpastian di negeri asing atau pulang ke Iran yang tengah dilanda konflik dan pembatasan ketat. Ketakutan akan serangan udara, sensor pemerintah, dan pemblokiran internet menjadi latar belakang keputusan sulit ini.
Situasi di Iran pasca serangan udara Israel semakin mencekam. Banyak warga yang merasa terisolasi dan ketakutan, kesulitan mengakses informasi akurat.
Ketakutan dan Ketidakpastian di Tengah Serangan
Farnaz, seorang seniman Iran-Amerika yang sedang mengunjungi keluarganya di Teheran, menggambarkan pengalamannya selama serangan udara Israel sebagai mimpi buruk yang menjadi kenyataan.
Ia merasa terkurung oleh kurangnya akses internet dan informasi yang tidak terverifikasi dari media pemerintah.
Suara-suara dan desas-desus dari luar hanya menambah kebingungan dan ketakutannya. Perasaan ini, katanya, sangat tidak mengenakkan.
Keputusan untuk meninggalkan Teheran diambil setelah serangan udara yang dahsyat. Guncangan yang kuat dan jendela-jendela yang pecah membuatnya menyadari betapa bahayanya situasi di kota tersebut.
Perjalanan darat menuju perbatasan Turki pun menegangkan. Kecemasannya bertambah karena ia khawatir paspor Amerika-nya bisa menyebabkan masalah.
Meskipun khawatir dengan keluarga yang masih berada di Iran, Farnaz merasa lega setelah sampai di Turki. Ia percaya serangan AS terhadap fasilitas nuklir Iran berpotensi mengakhiri rezim saat ini.
Perjalanan Menuju Perbatasan: Antara Harapan dan Rasa Takut
Van, kota di Turki dekat perbatasan Iran, menjadi tujuan banyak pengungsi Iran. Kota ini sudah lama menjadi destinasi wisata, bisnis, dan belanja bagi warga Iran.
Banyaknya restoran, toko, dan agen perjalanan yang menggunakan bahasa Farsi menunjukkan keakraban kota ini dengan budaya Iran.
Di perbatasan, hanya sedikit orang yang mau diwawancarai karena kekhawatiran akan tindakan represif rezim Iran terhadap mereka yang dianggap berkolaborasi dengan pihak asing.
Seorang wanita menunggu selama berjam-jam kedatangan teman-temannya dari Iran. Ia tidak bisa menghubungi mereka karena terputusnya akses internet.
Pertemuan emosional terjadi ketika kedua temannya akhirnya tiba. Mereka saling berpelukan sambil menangis, meluapkan kegembiraan dan kelegaan.
Dilema Pulang Kampung: Antara Rindu dan Ketakutan
Namun, tidak semua orang memilih untuk meninggalkan Iran. Beberapa warga tetap memilih untuk pulang meskipun situasi masih tidak menentu.
Seorang perempuan muda, misalnya, lebih cemas berada jauh dari rumah, karena informasi yang membingungkan membuatnya kesulitan menentukan sumber informasi yang dapat dipercaya.
Seorang pengusaha muda yang telah menyeberang ke Turki untuk kembali bekerja di Kanada juga merasakan hal yang sama. Ia khawatir dengan keselamatan kakek dan keluarganya di Teheran.
Ibunya, Nazi, mengungkapkan kemarahannya terhadap serangan udara AS, menyebutnya sebagai “kabar buruk”. Meskipun demikian, ia tetap percaya bahwa Iran akan melewati masa sulit ini, mengingat pengalaman menghadapi perang Iran-Irak sebelumnya.
Kisah-kisah ini menggambarkan realita sulit yang dihadapi warga Iran di tengah konflik. Ketakutan, ketidakpastian, dan kesulitan mengakses informasi menjadi tantangan besar yang mereka hadapi.
Mereka yang memilih untuk tetap di Iran juga tidak luput dari rasa takut dan cemas, bahkan lebih resah karena harus menyaring informasi yang benar di tengah penyebaran berita yang simpang siur dan penuh propaganda.
Situasi ini menggambarkan kompleksitas konflik dan dampaknya yang meluas pada kehidupan warga sipil, menekankan pentingnya penyelesaian damai dan akses informasi yang akurat bagi semua pihak.