Ribuan warga Dusun Toro Jaya, Kuala Renangan, dan Toro Palembang, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Riau, hidup dalam kecemasan setelah kedatangan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas-PKH) didampingi aparat bersenjata lengkap pada 13 Mei 2025. Kehadiran Satgas ini memicu kekhawatiran akan penggusuran, karena permukiman mereka diklaim berada di dalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN).
Ketakutan ini semakin diperparah oleh ketergantungan ekonomi warga terhadap pertanian, terutama perkebunan kelapa sawit. Kehidupan mereka yang sudah terbangun bertahun-tahun kini terancam hilang.
Sebagai bentuk protes dan permohonan perlindungan, Kelompok Tani Toro Sawit Karya Mandiri (Poktan TSKM) melayangkan surat kepada Menteri Pertahanan, Letjen (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin, yang juga Ketua Pengarah Satgas PKH. Surat tersebut juga ditembuskan kepada Presiden RI, Ketua DPR RI, Ketua DPD RI, Kapolri, Menteri Kehutanan, Komnas HAM, Ombudsman, dan beberapa pejabat daerah Riau.
Klaim yang Dipertanyakan
Dalam surat delapan halaman tersebut, Poktan TSKM menyatakan klaim keberadaan warga di dalam kawasan TNTN tidak sepenuhnya akurat. Ketua Poktan TSKM, Jonson Lumban Gaol, beserta Sekretaris Baharudin dan Kepala Desa Lubuk Kembang Bunga Rusi Chairus Slamet, menjelaskan kronologi keberadaan masyarakat di kawasan Toro.
Menurut Jonson, migrasi penduduk ke kawasan Toro berlangsung antara tahun 2003 hingga 2010. Mereka umumnya membeli lahan karet yang tidak produktif dari penduduk setempat. Saat itu, wilayah tersebut belum memiliki struktur pemerintahan dusun, hanya RT dan RW. Nama Toro atau Onangan digunakan sebagai sebutan lokal.
Pembentukan Dusun Toro Jaya dan Kuala Renangan baru resmi pada tahun 2014. Masing-masing kini dihuni oleh 3.544 dan 3.804 jiwa. Dusun Toro Palembang, yang berpenduduk 2.163 jiwa, dimekarkan dari Toro Jaya pada tahun 2021.
Status Kawasan Sebelum Penetapan TNTN
Jonson menekankan bahwa hingga tahun 2009, kawasan Toro masih berstatus Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Beberapa perusahaan pemegang HPH di daerah tersebut antara lain Dwi Marta, Inhutani, Nanjak Makmur, dan Siak Raya. HPH Nanjak Makmur berakhir pada 27 Maret 2009 berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 124/Menhut-II/2009.
Perubahan status terjadi pada 15 Oktober 2009, ketika areal bekas HPH tersebut ditetapkan sebagai Taman Nasional Tesso Nilo berdasarkan SK Menhut Nomor 663/Menhut-II/2009. Penetapan ini merupakan perluasan kawasan TNTN seluas 44.492 hektare.
Poktan TSKM juga menemukan SK Gubernur Riau Nomor: Kpts/662/V/2011 tentang Tata Batas Defenitif Kawasan Hutan TNTN dan Keputusan Menhut RI Nomor: Sk.6588/MenhutVII/KUH/2014 tanggal 28 Oktober 2014 yang menetapkan kawasan TNTN seluas 81.793 hektare. Mereka mempertanyakan mengapa dalam proses penataan batas perluasan tersebut, masyarakat tidak dilibatkan.
Pelanggaran Prosedur dan Permohonan Keadilan
Jonson berpendapat bahwa proses penetapan kawasan TNTN telah melanggar UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang mengatur empat tahapan pengukuhan kawasan hutan: penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan. Penataan batas seharusnya menginventarisasi dan menyelesaikan hak-hak masyarakat.
Ia juga mengutip Pasal 19 ayat 2 huruf c dan Pasal 20 ayat 4 huruf b PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, yang mengatur penyelesaian hak pihak ketiga di dalam atau sepanjang batas kawasan hutan. Aturan-aturan tersebut, menurut Jonson, tidak dijalankan.
Warga Toro, lanjut Jonson, membangun kampung mereka dengan usaha sendiri tanpa bantuan negara. Mereka membangun infrastruktur dan kehidupan mandiri selama bertahun-tahun. Mereka meminta perlindungan dan peninjauan kembali status kawasan tersebut, serta keadilan atas hak hidup dan pengakuan atas jerih payah mereka.
Pertimbangan Tambahan
Kasus ini menyoroti pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses penetapan kawasan hutan. Ketidakjelasan dan kurangnya transparansi dalam proses tersebut dapat menimbulkan konflik dan ketidakadilan bagi masyarakat yang telah bermukim dan bergantung hidup di kawasan tersebut. Investigasi independen dan mediasi yang adil perlu dilakukan untuk mencari solusi yang melindungi hak-hak masyarakat dan kelestarian lingkungan.
Pemerintah perlu meninjau ulang regulasi dan mekanisme penetapan kawasan hutan agar lebih partisipatif, transparan, dan berkeadilan. Hal ini penting untuk mencegah konflik serupa di masa mendatang dan membangun hubungan yang harmonis antara pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam.
Selain itu, perlu diteliti lebih dalam mengenai klaim kepemilikan lahan oleh warga dan riwayat penggunaan lahan sebelum penetapan TNTN. Data historis dan bukti kepemilikan lahan yang kuat akan sangat membantu dalam proses penyelesaian konflik ini.
Perlu adanya solusi yang berkelanjutan yang mempertimbangkan kepentingan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Mungkin solusi relokasi dengan kompensasi yang layak atau skema kemitraan yang memungkinkan masyarakat tetap hidup berdampingan dengan TNTN dapat dipertimbangkan.
Kesimpulannya, kasus ini menjadi pelajaran penting tentang pentingnya transparansi dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan lahan dan hutan. Proses yang berkeadilan dan berkelanjutan menjadi kunci untuk mencegah konflik dan membangun hubungan yang harmonis antara pemerintah dan masyarakat.
Penulis: Bilhaqi Amjada A’raaf