Petani singkong di Lampung dan produsen tepung tapioka mengeluhkan kerugian besar akibat rendahnya serapan produk mereka oleh industri dalam negeri. Industri lebih memilih mengimpor tapioka, menyebabkan surplus produksi singkong dan tapioka di Lampung.
Aliansi Masyarakat Peduli Petani Singkong Indonesia (AMPPSI) dan Perhimpunan Pengusaha Tepung Tapioka Indonesia (PPTTI) telah menyampaikan keluhan ini kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Impor Tapioka Picu Kerugian Petani
Maradoni dari AMPPSI mengungkapkan informasi dari KPPU RI Lampung terkait impor tapioka yang cukup signifikan. Impor senilai Rp 511 miliar untuk 59 ribu ton tapioka menunjukkan potensi kerugian yang jauh lebih besar jika kuantitas impor meningkat.
Ia menyoroti ketidakpastian pendapatan petani singkong akibat minimnya serapan hasil panen. Maradoni mendesak pemerintah untuk mengeluarkan regulasi yang melindungi petani singkong di Lampung.
Tujuh kabupaten di Lampung yang menjadi sentra singkong sangat bergantung pada sektor ini untuk perekonomiannya. Ketiadaan payung hukum yang melindungi petani membuat mereka seperti hanya menanam rumput, tanpa kepastian penghasilan.
Menurunnya Serapan Industri dan Tingginya Stok Tapioka
Welly Sugiono dari PPTTI menjelaskan kesulitan produsen menyerap singkong petani disebabkan penurunan serapan industri akibat tingginya impor tapioka.
Saat ini, 37 pabrik tapioka memiliki stok mencapai 250 ribu ton. Tapioka tersebut sulit dijual ke berbagai industri seperti industri kertas, kerupuk, pempek, dan cireng.
Dampak Terhadap Harga Beli Singkong
Industri saat ini hanya mau membeli tapioka dengan harga Rp 5.200/kg, setara dengan harga impor. Harga tersebut jauh lebih rendah dari harga jual pabrik yang mencapai Rp 6.500/kg.
Harga eceran tertinggi (HET) singkong yang ditetapkan sebesar Rp 1.350/kg pun tidak cukup membantu. Rendahnya harga beli tapioka memaksa pabrik untuk mengurangi pembelian singkong dari petani.
Perbedaan harga jual dan beli ini menciptakan disparitas yang merugikan baik petani maupun produsen tapioka. Segmentasi pasar tapioka juga menjadi faktor yang perlu diperhatikan, terutama untuk industri yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP) seperti produsen kerupuk, pempek, dan cireng.
Perlu Solusi Jangka Panjang untuk Sektor Singkong
Situasi ini menuntut solusi komprehensif dari pemerintah untuk melindungi petani singkong dan industri tapioka dalam negeri. Regulasi yang efektif dan penegakan hukum yang tegas terhadap impor tapioka sangat diperlukan.
Pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan yang mendorong peningkatan daya saing produk tapioka dalam negeri, misalnya melalui inovasi teknologi dan peningkatan kualitas produk.
Selain itu, diversifikasi pasar dan pengembangan produk turunan tapioka juga penting untuk mengurangi ketergantungan pada industri tertentu. Dukungan terhadap petani singkong, seperti bantuan teknis dan akses permodalan, juga sangat krusial.
Secara keseluruhan, permasalahan ini menuntut kerja sama antara pemerintah, petani, dan industri untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan bagi sektor singkong di Indonesia. Dengan demikian, petani dapat memperoleh penghasilan yang layak dan industri tapioka dalam negeri dapat bersaing secara sehat.