Diduga tanpa izin, PT Canang Palma Indonesia (CPI) telah melakukan penimbunan lahan mangrove di Pulau Sicanang, Medan Belawan. Hal ini dilaporkan telah berlangsung selama setahun terakhir, mengancam fungsi vital hutan mangrove sebagai penahan banjir rob dan kawasan resapan air.
Wakil Ketua DPRD Medan, Hadi Suhendra, beserta anggota dewan lainnya, telah meninjau lokasi dan menemukan bukti berupa tembok pagar yang dibangun perusahaan. Mereka menilai pembangunan tersebut melanggar izin Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang ada.
Hadi Suhendra menduga adanya penerbitan izin ilegal dalam kasus ini. Ia mendesak Pemko Medan untuk bertindak tegas terhadap CPI dan membongkar tembok pagar tersebut. Rencana pembangunan pabrik atau gudang di lahan tersebut juga menjadi sorotan.
Penimbunan Mangrove: Ancaman Lingkungan dan Kerugian Masyarakat
Penimbunan lahan mangrove di Pulau Sicanang menimbulkan kekhawatiran akan dampak lingkungan yang signifikan. Hutan mangrove berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem pesisir, mencegah abrasi, dan melindungi dari dampak perubahan iklim.
Dengan ditimbunnya lahan mangrove, fungsi-fungsi vital tersebut terancam. Potensi peningkatan banjir rob, kerusakan habitat satwa liar, dan penurunan kualitas air menjadi konsekuensi yang mungkin terjadi.
Selain itu, masyarakat sekitar juga akan merasakan dampak negatifnya. Hilangnya hutan mangrove dapat mengurangi mata pencaharian penduduk yang bergantung pada sumber daya alam di kawasan tersebut, seperti nelayan dan pembudidaya ikan.
Investigasi dan Tindakan Hukum
DPRD Medan telah membentuk tim investigasi untuk menelusuri pihak-pihak yang terlibat dalam penerbitan izin PBG yang diduga ilegal. Mereka mencurigai adanya keterlibatan oknum pejabat di Dinas Perkim Cikataru pada masa pemerintahan Wali Kota Bobby Nasution.
DLH Medan menegaskan tidak pernah mengeluarkan rekomendasi penimbunan lahan atau izin Amdal untuk proyek tersebut. Kejanggalan ini semakin mempertegas dugaan adanya penyimpangan prosedur dalam proses perizinan.
Panjang tembok pagar yang sebenarnya juga menjadi pertanyaan. Meskipun tercatat 600 meter dalam dokumen, peninjauan lapangan menunjukkan panjang tembok yang jauh lebih besar, diperkirakan mencapai 1.000 hingga 2.000 meter.
Peran Lembaga Terkait dan Tanggung Jawab Pemerintah
Dalam peninjauan lokasi, turut hadir perwakilan Dinas Perkim Cikataru Medan, Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Satpol PP, dan pihak kecamatan. Namun, respon dari pihak-pihak terkait dinilai lamban dan kurang tegas.
Satpol PP mengaku telah mencoba menindak, tetapi terhalang pernyataan dari Dinas Perkim Cikataru yang menyatakan bangunan tersebut telah berizin. Hal ini menunjukkan lemahnya koordinasi antar lembaga pemerintahan.
Upaya konfirmasi kepada Plt Kepala Dinas Perkimcitaru Medan, Melvi Marlabayana, hingga berita ini ditulis belum membuahkan hasil. Ketidaktransparanan dan kurangnya akuntabilitas ini semakin mempersulit upaya penyelesaian masalah.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kasus penimbunan lahan mangrove di Pulau Sicanang merupakan bukti nyata dari lemahnya penegakan hukum dan pengawasan lingkungan di Medan. Pemerintah daerah perlu mengambil tindakan tegas untuk menghentikan kerusakan lingkungan dan menindak pihak-pihak yang bertanggung jawab.
Transparansi dan akuntabilitas dalam proses perizinan sangat penting untuk mencegah kejadian serupa terulang. Penting pula melibatkan masyarakat dalam pengawasan lingkungan dan memberikan sanksi yang berat bagi pelaku pelanggaran.
Selain itu, perlu dilakukan upaya restorasi mangrove yang terdampak untuk mengembalikan fungsi ekologis kawasan tersebut. Program edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian mangrove juga perlu ditingkatkan.
Kejadian ini menjadi pengingat pentingnya tata kelola lingkungan yang baik dan penegakan hukum yang tegas. Harapannya, kasus ini dapat menjadi pelajaran berharga untuk membangun lingkungan yang lebih lestari dan berkelanjutan.
Editor: Pran Hasibuan
Berikut beberapa berita terkini: