Pemerintah Indonesia baru-baru ini memberikan angin segar bagi saksi pelaku yang bersedia bekerja sama dengan penegak hukum, atau yang dikenal sebagai justice collaborator. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada 8 Mei 2025, justice collaborator kini berhak mendapatkan keringanan hukuman, bahkan pembebasan bersyarat.
PP ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi saksi pelaku sepanjang proses hukum, mulai dari penyidikan hingga persidangan. Aturan ini juga dirancang untuk melindungi hak-hak mereka, terutama bagi yang telah berstatus narapidana.
Keistimewaan Baru bagi Justice Collaborator
Sebelumnya, regulasi mengenai penanganan khusus dan penghargaan bagi justice collaborator belum diatur secara komprehensif. PP ini hadir untuk menutup celah tersebut dan memberikan kerangka hukum yang jelas.
Pasal 3 PP ini merinci penanganan khusus bagi justice collaborator. Mereka berhak atas pemisahan tempat penahanan dari tersangka atau terdakwa lainnya. Berkas perkara mereka juga akan dipisahkan dari berkas tersangka dan terdakwa lainnya. Terakhir, mereka dapat memberikan kesaksian tanpa harus berhadapan langsung dengan terdakwa yang kasusnya mereka bantu ungkap.
Sementara itu, Pasal 4 PP memberikan dua jenis penghargaan. Pertama, keringanan hukuman. Kedua, pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak-hak narapidana lainnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi saksi pelaku yang berstatus narapidana.
Mekanisme Pengajuan dan Pemeriksaan Justice Collaborator
Bagi yang ingin mengajukan diri sebagai justice collaborator, permohonan dapat diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia, baik melalui jalur elektronik maupun non-elektronik, kepada penyidik, penuntut umum, atau pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Permohonan tersebut harus memenuhi syarat substantif dan administratif. Salah satu syarat substantif adalah keterangan yang diberikan harus penting untuk mengungkap suatu tindak pidana, dan pemohon bukan sebagai pelaku utama.
Syarat administratif meliputi penyerahan identitas pemohon, surat pernyataan bukan pelaku utama, surat pernyataan mengakui perbuatan, surat pernyataan bersedia bekerja sama, surat pernyataan bersedia mengungkap tindak pidana di setiap tahap pemeriksaan, dan surat pernyataan tidak akan melarikan diri. Pemohon juga wajib menyertakan surat pernyataan kesediaan mengembalikan aset yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan.
Proses Pemeriksaan dan Keputusan
Setelah permohonan diajukan, penyidik, penuntut umum, atau pimpinan LPSK akan melakukan pemeriksaan administratif dan substantif. Pemeriksaan administratif dilakukan paling lama lima hari sejak permohonan diterima.
Jika berkas permohonan tidak lengkap, pemohon diberi waktu tujuh hari untuk melengkapi. Jika tidak, permohonan akan ditolak. Namun, pemohon yang ditolak dapat mengajukan permohonan kembali sebelum diperiksa sebagai saksi di persidangan.
Pemeriksaan substantif, yang menilai pentingnya keterangan dan peran pemohon dalam tindak pidana, akan berlangsung selama 30 hari. Jika permohonan diterima, justice collaborator akan mendapatkan penanganan khusus dan penghargaan sesuai dengan PP.
Jika ditolak, penyidik, penuntut umum, atau LPSK akan memberitahukan kepada kuasa hukum pemohon beserta alasan penolakan.
Penerbitan PP ini diharapkan dapat mendorong lebih banyak saksi pelaku untuk bersedia bekerja sama dengan penegak hukum dalam mengungkap berbagai tindak pidana. Dengan demikian, penegakan hukum di Indonesia diharapkan semakin efektif dan berkeadilan. Namun, perlu pengawasan ketat agar program ini tidak disalahgunakan.