Serangan militer Amerika Serikat terhadap fasilitas nuklir Iran memicu reaksi keras dari Korea Utara. Pyongyang mengecam tindakan tersebut sebagai pelanggaran kedaulatan dan Piagam PBB, menyerukan kecaman internasional terhadap AS dan Israel. Sikap keras ini mencerminkan hubungan dekat antara Korea Utara dan Iran, serta implikasi strategis serangan tersebut bagi program nuklir Korea Utara sendiri.
Kedekatan kedua negara tersebut telah berlangsung selama beberapa dekade, ditandai dengan dugaan kerja sama militer, termasuk pengembangan rudal balistik. Teknologi yang dihasilkan dari kolaborasi ini telah meningkatkan kemampuan militer Iran.
Aliansi Korea Utara–Iran: Kolaborasi Militer dan Implikasi Strategis
Korea Utara dan Iran memiliki sejarah kerja sama militer yang panjang. Diduga, kedua negara telah berkolaborasi dalam pengembangan teknologi rudal balistik, meningkatkan kapabilitas militer Iran secara signifikan.
Keterlibatan Korea Utara juga terlihat dalam pengiriman ahli terowongan bawah tanah ke Iran. Pengalaman Korea Utara dalam membangun fasilitas bawah tanah selama Perang Korea menjadi aset berharga bagi Iran dalam melindungi infrastruktur nuklirnya.
Serangan AS terhadap fasilitas nuklir bawah tanah Fordow di Iran, menggunakan bom GBU-57, kini tengah dikaji Korea Utara untuk meningkatkan keamanan fasilitas nuklir mereka sendiri. Para ahli berpendapat bahwa Pyongyang akan memperkuat pertahanan dan mempercepat pengembangan senjata nuklir.
Dampak Serangan Terhadap Kebijakan Korea Utara
Mantan Letjen Angkatan Darat Korea Selatan, Chun In-bum, menilai serangan AS di Iran tidak akan mendorong Pyongyang ke meja perundingan. Menurut Chun, Korea Utara cenderung akan mempercepat program senjata nuklirnya sebagai respons atas kejadian tersebut.
Kejutan atas ketegasan pemerintahan Trump juga turut memengaruhi perhitungan Pyongyang. Peristiwa ini menunjukkan suatu pendekatan yang berbeda dari AS yang selama ini mereka hadapi.
Leif-Eric Easley, profesor studi internasional di Universitas Ewha Womans, Seoul, menambahkan bahwa Korea Utara menyadari perbedaan situasi mereka dengan Iran. Kemajuan program nuklir Korea Utara yang lebih pesat dan kemampuannya untuk mengancam wilayah AS menjadi faktor pembedanya.
Koordinasi Rusia dan Perhitungan Kim Jong Un
Easley juga mencatat bahwa Kim Jong Un akan semakin mengandalkan aliansi dengan Rusia untuk mendapatkan teknologi senjata. Hal ini terlihat dari kunjungan Menteri Luar Negeri Iran ke Moskow setelah serangan AS, dan kunjungan Sergei Shoigu ke Korea Utara.
Koordinasi antara Rusia, Iran, dan Korea Utara menunjukkan semakin eratnya keterkaitan isu keamanan regional. Namun, prioritas utama Kim Jong Un tetaplah keselamatannya sendiri dan kelangsungan rezimnya.
Ketidakpastian atas lokasi dan pergerakan pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, dan dukungan AS terhadap perubahan rezim di Teheran, diyakini telah meningkatkan kewaspadaan Kim Jong Un. Ia akan meningkatkan pengamanan dan kerahasiaan informasi mengenai keberadaannya.
Kejadian ini memperlihatkan kompleksitas geopolitik di kawasan, di mana serangan terhadap satu negara dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap negara lain, bahkan memicu perlombaan senjata dan meningkatkan ketegangan internasional.
Peristiwa ini juga menjadi pengingat pentingnya diplomasi dan penyelesaian damai dalam konflik internasional untuk menghindari eskalasi yang lebih berbahaya.