Restorasi hutan dan keadilan sosial menjadi fokus utama peluncuran Panduan Penerapan Kerangka Kerja Perbaikan Sosial (Remedy Framework) dari Forest Stewardship Council (FSC) oleh Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM). Panduan ini diharapkan dapat mendorong upaya perbaikan lingkungan sekaligus menyelesaikan konflik sosial di sektor kehutanan Indonesia.
Dibuat secara partisipatif dan inklusif, panduan ini merangkum pengalaman lapangan dan memberikan pedoman teknis penerapan Remedy Framework FSC. Hal ini menjadi langkah penting dalam mencapai tata kelola kehutanan yang lebih berkelanjutan dan adil.
Panduan Komprehensif untuk Restorasi Hutan dan Keadilan Sosial
Panduan yang diluncurkan FKKM ini terdiri dari sembilan fokus utama. Fokus tersebut mencakup berbagai aspek penting, mulai dari persiapan hingga implementasi perbaikan.
Beberapa fokus utama tersebut antara lain penguatan persiapan sosial FPIC (Free, Prior Informed Consent) atau PADIATAPA (Persetujuan Di Awal Tanpa Paksaan), pemetaan dampak operasional, dan identifikasi hak-hak masyarakat.
Panduan ini juga memberikan detail mengenai penyusunan langkah-langkah perbaikan sosial yang berkeadilan dan dapat dipertanggungjawabkan. Tujuannya adalah untuk memastikan tercapainya solusi yang berkelanjutan dan adil bagi semua pihak yang terlibat.
Alasan Dukungan FKKM terhadap Remedy Framework FSC
FKKM mendukung Remedy Framework karena dua alasan utama. Pertama, kerangka ini secara aktif mendorong restorasi hutan di wilayah yang terdampak.
Kerja sama antara masyarakat, pemerintah, dan perusahaan restorasi ekosistem menjadi kunci keberhasilan restorasi tersebut. Hal ini menunjukan komitmen multi pihak dalam perbaikan lingkungan.
Kedua, Remedy Framework diharapkan dapat menjadi solusi strategis dalam penyelesaian konflik sosial dan perbaikan relasi antara perusahaan dan masyarakat. Dengan demikian, tercipta harmoni dalam pengelolaan hutan.
Panduan ini merupakan hasil pengetahuan kolektif dari berbagai komunitas yang terlibat langsung dan terdampak oleh praktik pengelolaan hutan. Kolaborasi ini menunjukkan semangat kebersamaan dalam menciptakan perubahan positif.
Implementasi Remedy Framework dan Dampaknya bagi Industri Kehutanan Indonesia
Direktur Teknis FSC Indonesia, Hartono Prabowo, menjelaskan bahwa Remedy Framework merupakan kebijakan strategis FSC untuk memulihkan kerusakan sosial dan lingkungan akibat aktivitas kehutanan di masa lalu.
Kebijakan ini terutama difokuskan pada kawasan yang mengalami konversi hutan alam atau berdampak pada hak masyarakat. Upaya restoratif ini menjadi penting untuk memastikan keberlanjutan lingkungan.
Remedy Framework memungkinkan perusahaan yang terdampak kebijakan konversi FSC, khususnya terkait batas waktu tahun 1994, untuk kembali memenuhi syarat sertifikasi. Hal ini dilakukan melalui serangkaian tindakan restoratif, baik ekologis maupun sosial.
Hartono menekankan bahwa Remedy Framework bukan sekadar kembali ke masa lalu, melainkan membangun masa depan yang lebih baik. Fokusnya adalah pada perbaikan dan pemulihan untuk keberlanjutan.
Ketua Umum APHI, Indroyono Soesilo, menambahkan bahwa Remedy Framework membuka peluang bagi pengembang hutan tanaman untuk mendapatkan sertifikasi. Sebelumnya, banyak yang terkendala oleh kebijakan konversi.
Panduan ini memberikan interpretasi operasional yang aplikatif terhadap dokumen global FSC. Hal ini memudahkan implementasi dan mendorong penyelesaian konflik tenurial serta perluasan area rehabilitasi.
Sertifikasi hutan berperan sebagai alat harmonisasi kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Panduan ini sangat penting untuk memperkuat kepercayaan publik dan daya saing produk kehutanan Indonesia di pasar global.
Dengan adanya panduan ini, diharapkan tata kelola kehutanan di Indonesia semakin kuat dan berkeadilan. Hal ini akan berdampak positif bagi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Kesimpulannya, peluncuran Panduan Penerapan Remedy Framework FSC oleh FKKM merupakan langkah signifikan dalam mendorong restorasi hutan dan keadilan sosial di Indonesia. Panduan ini memberikan kerangka kerja yang komprehensif dan praktis bagi berbagai pihak yang terlibat dalam pengelolaan hutan, sehingga menciptakan harmonisasi antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan untuk masa depan yang lebih berkelanjutan.