Kasus dugaan korupsi di subholding PT Pertamina tengah menjadi sorotan. Kejaksaan Agung (Kejagung) menyelidiki dugaan pengoplosan Pertalite menjadi Pertamax yang dilakukan oleh oknum pejabat Pertamina Patra Niaga sejak tahun 2018 hingga 2023.
Modus yang digunakan diduga adalah pembelian Pertalite (RON 90) dengan harga yang seharusnya untuk Pertamax (RON 92). Pertalite yang lebih murah kemudian dicampur atau di-blending di depo penyimpanan sebelum dijual sebagai Pertamax dengan harga yang lebih tinggi. Akibatnya, konsumen membayar harga Pertamax namun mendapatkan bahan bakar dengan kualitas lebih rendah.
Praktik ini menimbulkan kerugian negara yang signifikan dan merugikan konsumen. Selain kerugian finansial, praktik ini juga berdampak pada kualitas dan performa kendaraan, khususnya bagi kendaraan dengan rasio kompresi tinggi yang dirancang untuk menggunakan Pertamax.
Dampak Penggunaan Pertalite pada Kendaraan Berkompresi Tinggi
Pertalite, dengan RON 90, hanya direkomendasikan untuk kendaraan dengan rasio kompresi 9:1 hingga 10:1. Kendaraan dengan rasio kompresi di atas 10:1, seperti banyak mobil modern, membutuhkan bahan bakar dengan oktan lebih tinggi, seperti Pertamax (RON 92) atau yang lebih tinggi lagi. Penggunaan Pertalite pada kendaraan ini dapat menyebabkan beberapa masalah.
Salah satu dampaknya adalah penurunan performa mesin. Tenaga dan torsi mesin akan berkurang karena pembakaran tidak optimal. Hal ini disebabkan oleh perbedaan sifat pembakaran antara Pertalite dan Pertamax, yang berpengaruh pada efisiensi mesin.
Selain itu, ruang bakar mesin akan lebih cepat kotor, khususnya pada area injektor. Kotoran ini dapat mengganggu kinerja mesin dan memperpendek umur pakai komponen mesin yang vital. Pertamax dan varian di atasnya memiliki formula Pertatec, yang berfungsi membersihkan endapan dan mencegah karat pada mesin.
Kerugian Konsumen Akibat Oplosan
Para konsumen yang membeli Pertamax, tanpa sepengetahuan mereka, justru mendapatkan Pertalite yang dioplos. Hal ini merugikan konsumen karena kualitas bahan bakar yang diterima tidak sesuai dengan harga yang dibayar. Mereka membayar lebih mahal untuk kualitas yang lebih rendah. Hal ini juga berpotensi meningkatkan biaya perawatan kendaraan di kemudian hari.
Lebih lanjut, tindakan ini juga bisa menyebabkan kerusakan pada mesin kendaraan jika penggunaan Pertalite pada kendaraan berkompresi tinggi dilakukan dalam jangka panjang. Kerusakan mesin dapat menyebabkan biaya perbaikan yang tinggi, sehingga merugikan konsumen secara signifikan.
Tanggung Jawab Pertamina dan Pemerintah
PT Pertamina Patra Niaga memiliki tanggung jawab untuk memastikan kualitas dan integritas produk yang dijualnya. Kasus ini menunjukkan adanya kegagalan pengawasan internal dan tata kelola perusahaan yang lemah. Pemerintah juga perlu meningkatkan pengawasan terhadap industri migas untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang. Penting untuk memastikan bahwa konsumen mendapatkan produk dengan kualitas sesuai standar dan harga yang wajar.
Kejadian ini seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi Pertamina untuk meningkatkan sistem pengawasan dan pengendalian internal. Transparansi dan akuntabilitas juga harus ditingkatkan agar kasus serupa tidak terulang kembali. Pemerintah juga harus berperan aktif dalam melindungi konsumen dan memastikan keadilan hukum ditegakkan.
Selain itu, perlu adanya edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menggunakan bahan bakar yang sesuai dengan spesifikasi kendaraan. Pengetahuan tentang RON dan rasio kompresi mesin dapat membantu konsumen dalam memilih bahan bakar yang tepat dan menghindari kerusakan pada kendaraan.
Kesimpulannya, kasus pengoplosan Pertamax ini merupakan kasus serius yang membutuhkan penanganan yang tegas. Pertamina dan pemerintah perlu mengambil langkah-langkah konkrit untuk mencegah kejadian serupa dan melindungi hak-hak konsumen.
Editor: Angriawan Cahyo Pawenang