Pemerintah berencana mewajibkan platform e-commerce memungut pajak penjualan dari para pedagang online. Rencana ini, yang masih dalam tahap sosialisasi, menargetkan pedagang di berbagai marketplace seperti Tokopedia, Shopee, dan TikTok Shop. Meskipun belum ada regulasi resmi, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mulai menginformasikan rencana ini kepada para pelaku marketplace.
Tujuannya adalah meningkatkan pendapatan negara. Aturan baru ini diperkirakan akan diumumkan paling cepat bulan depan. Respons dari asosiasi e-commerce pun telah bermunculan, mengungkapkan kesiapan dan kekhawatiran terkait dampaknya terhadap jutaan penjual online.
Sosialisasi Pajak Penjualan Online: Reaksi dari Asosiasi E-Commerce
Sekretaris Jenderal Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Budi Primawan, membenarkan adanya rencana tersebut. Namun, ia belum bisa memberikan detail teknis aturannya karena regulasi resmi belum diterbitkan.
Budi menekankan kesiapan idEA untuk mematuhi aturan yang berlaku dan mendukung ekosistem bisnis yang sehat. Ia juga menyatakan pentingnya memastikan kesiapan sistem dan komunikasi yang baik kepada para penjual online.
IdEA mendorong penerapan kebijakan ini secara bertahap dan hati-hati. Pertimbangan utama adalah kesiapan UMKM dan infrastruktur pendukung, serta sosialisasi yang komprehensif kepada masyarakat.
Potensi Dampak terhadap Jutaan Penjual Online dan UMKM
Rencana kebijakan ini akan berdampak langsung kepada jutaan penjual online, terutama pelaku UMKM digital. Jika platform e-commerce ditunjuk sebagai pemotong pajak, maka sistem dan dukungan teknis yang memadai menjadi krusial.
Budi mengatakan komunikasi yang efektif kepada para penjual sangat penting untuk memastikan kelancaran implementasi kebijakan ini. Hal ini terutama penting bagi UMKM yang mungkin membutuhkan bimbingan tambahan dalam memahami dan memenuhi kewajiban perpajakan mereka.
Kebijakan Pajak dan Persaingan di Pasar E-commerce
Laporan Reuters menyebutkan platform e-commerce akan diwajibkan memotong dan menyetorkan pajak sebesar 0,5% dari pendapatan penjualan penjual dengan omzet tahunan Rp 500 juta hingga Rp 4,8 miliar.
Tujuan kebijakan ini, menurut Reuters, adalah menciptakan persaingan yang setara antara toko fisik dan toko online. Namun, aturan ini mendapat penentangan dari beberapa platform e-commerce karena dikhawatirkan akan meningkatkan biaya administrasi dan membuat penjual hengkang.
Ada juga usulan denda untuk pelaporan pajak yang terlambat. detikcom telah berupaya menghubungi DJP dan Kementerian Keuangan, namun belum mendapat tanggapan. Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa peraturan serupa pernah diterapkan tetapi kemudian dicabut karena menimbulkan reaksi keras dari industri.
Indonesia pernah memberlakukan aturan serupa pada akhir 2018, yang mengharuskan operator pasar membagikan data penjual dan membayar pajak atas pendapatan penjualan. Aturan itu akhirnya dicabut tiga bulan kemudian setelah mendapat protes dari industri.
Implementasi kebijakan baru ini membutuhkan pendekatan kolaboratif, terencana, dan inklusif untuk menghindari disrupsi pada pertumbuhan ekosistem digital nasional. Sosialisasi yang menyeluruh dan dukungan teknis yang memadai bagi para pelaku UMKM menjadi kunci keberhasilan implementasi kebijakan ini. Pertimbangan yang matang dan pemahaman yang mendalam terhadap dinamika industri e-commerce sangat penting untuk menciptakan kebijakan yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak.