Indonesia, khususnya Lampung, tengah menghadapi permasalahan melimpahnya stok singkong dan tapioka. Produksi melimpah ini ironisnya justru menjadi beban bagi petani dan produsen lokal karena tidak terserap pasar dalam negeri.
Kondisi ini disebabkan oleh masuknya tapioka impor dengan harga yang jauh lebih murah, mengakibatkan kerugian besar bagi sektor pertanian dan industri pengolahan singkong di Lampung.
Banjir Tapioka Lampung: 250 Ribu Ton Menganggur
Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, mengungkapkan data mengejutkan. Sebanyak 250 ribu ton tapioka Lampung tertahan di pabrik karena minim peminat.
Penyebabnya adalah persaingan tak seimbang dengan tapioka impor yang lebih murah. Tapioka impor dibanderol Rp 5.200/kg tanpa pajak, sementara produsen lokal kesulitan bersaing dengan harga jual Rp 6.000 – Rp 5.800/kg.
Industri gula, tekstil, dan kertas lebih memilih tapioka impor karena perbedaan harga yang signifikan. Hal ini berdampak pada terhentinya produksi dan kerugian bagi petani singkong yang kesulitan menjual hasil panennya.
Dilema HET Singkong dan Impor yang Tak Sinkron
Pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) singkong sebesar Rp 1.350/kg. Kebijakan ini bertujuan melindungi petani dari kerugian.
Namun, HET justru menambah beban produsen tapioka dalam negeri yang harus membeli singkong dengan harga lebih tinggi, sehingga daya saingnya semakin melemah terhadap produk impor.
Lebih rumit lagi, data impor yang tidak sinkron semakin memperburuk situasi. Data menunjukkan defisit produksi tapioka nasional sebesar 1 juta ton, sehingga membutuhkan impor. Namun, data lain menunjukkan kapasitas produksi Lampung saja mencapai 4 juta ton, jauh melampaui angka produksi nasional versi Sistem Informasi Industri Nasional (SINAS) yang hanya 1,4 juta ton.
Selisih data yang signifikan ini menimbulkan pertanyaan tentang urgensi impor tapioka. Apakah defisit produksi memang benar terjadi, atau ada masalah dalam sistem pendataan dan pengawasan impor?
Data Impor yang Kontradiktif
Perbedaan data produksi tapioka antara informasi dari pelaku usaha Lampung dan data SINAS mencapai 1,5 hingga 2 juta ton. Hal ini menimbulkan keraguan tentang akurasi data impor yang selama ini menjadi dasar kebijakan pemerintah.
Kebijakan impor yang tidak berdasar data yang akurat berdampak buruk bagi petani dan produsen dalam negeri yang kesulitan bersaing.
Tuntutan Regulasi dan Tata Niaga Singkong-Tapioka
Gubernur Lampung mendesak pemerintah pusat, khususnya Kementerian Pertanian, untuk segera mengambil langkah nyata mengatasi permasalahan ini.
Langkah yang dibutuhkan antara lain mengatur impor singkong dan tapioka, misalnya dengan mengenakan pajak impor untuk menyamakan harga jual dengan produk lokal.
Selain itu, pemerintah juga perlu menata tata niaga singkong dan tapioka agar industri dan petani dapat tumbuh bersama. Selama empat bulan, belum ada kebijakan konkret dari pemerintah untuk mengatasi persoalan ini.
Harapannya, dengan terwujudnya tata niaga yang baik dan regulasi yang tepat, industri dalam negeri dapat bersaing secara sehat dan petani singkong dapat menikmati hasil jerih payah mereka.
Melimpahnya stok tapioka di Lampung menjadi bukti nyata potensi besar industri ini. Namun, tanpa kebijakan yang tepat dan sinkron, potensi tersebut hanya akan menjadi beban bagi petani dan produsen lokal. Pemerintah perlu segera bertindak untuk menciptakan ekosistem yang adil dan berkelanjutan bagi sektor singkong dan tapioka di Indonesia.