Desa Wukirsari di Bantul, Yogyakarta, mendapatkan pengakuan bergengsi sebagai Kawasan Berbasis Kekayaan Intelektual 2025 Kategori Kawasan Karya Cipta dari Kementerian Hukum dan HAM. Prestasi ini mencerminkan kekayaan budaya dan ekonomi kreatif yang dimiliki desa tersebut, khususnya dalam hal tradisi karya cipta yang telah berlangsung turun-temurun. Penghargaan ini diberikan berdasarkan penilaian mendalam atas potensi dan kontribusi desa terhadap pelestarian warisan budaya Indonesia.
Penghargaan ini merupakan bentuk apresiasi pemerintah terhadap upaya pelestarian budaya dan pengembangan ekonomi kreatif di tingkat desa. Wukirsari menjadi salah satu dari dua wilayah di DIY yang menerima penghargaan ini, selain Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Wukirsari: Pusat Karya Cipta Budaya Yogyakarta
Kalurahan Wukirsari, terletak di Kapanewon Imogiri, Kabupaten Bantul, memiliki sejarah panjang dalam menciptakan karya-karya seni dan budaya. Tradisi ini telah berlangsung selama bergenerasi dan terus dilestarikan hingga saat ini.
Bupati Bantul, Abdul Halim Muslih, menyatakan keyakinannya bahwa Wukirsari bukanlah satu-satunya desa di Bantul yang memiliki tradisi karya cipta yang kuat. Banyak desa lain di Bantul juga memiliki warisan budaya serupa yang tetap lestari.
Kekayaan budaya Wukirsari terlihat jelas dalam berbagai produk kerajinan tangan. Batik tulis asli Wukirsari, misalnya, menjadi salah satu ikon budaya yang terkenal.
Selain batik, Wukirsari juga memiliki para perajin tatah sungging yang ahli membuat wayang kulit. Keahlian ini merupakan warisan budaya tak benda Indonesia yang diakui oleh UNESCO.
Pelestarian Budaya sebagai Investasi Masa Depan
Penetapan Wukirsari sebagai Kawasan Berbasis Kekayaan Intelektual diharapkan dapat semakin memperkuat eksistensi desa sebagai pusat budaya. Hal ini tidak hanya sebatas pelestarian, tetapi juga sebagai investasi masa depan.
Bupati Halim berharap, penghargaan ini dapat memotivasi masyarakat Wukirsari untuk terus berkreasi dan meningkatkan kualitas karya ciptanya.
Lebih lanjut, penghargaan ini menjadi bukti bahwa pelestarian budaya bukan sekadar tugas masa lalu, melainkan juga investasi yang penting bagi perkembangan ekonomi dan sosial masyarakat.
Warisan Budaya dari Era Sultan Agung
Lurah Wukirsari, Susilo Hapsoro, menjelaskan bahwa keberhasilan ini merupakan hasil konsistensi masyarakat dalam melestarikan budaya membatik. Tradisi membatik di Wukirsari telah berlangsung sejak era Sultan Agung.
Ketiga pedukuhan di Wukirsari, yaitu Cengkehan, Giriloyo, dan Karangkulon, memiliki peran penting dalam menjaga kelangsungan tradisi membatik.
Masyarakat di ketiga pedukuhan tersebut aktif mempertahankan nilai-nilai budaya leluhur. Saat ini, tercatat ada 643 pembatik aktif di Wukirsari.
Sejarah panjang dan kearifan lokal yang tertanam kuat di Wukirsari menjadi pondasi bagi keberhasilan desa ini dalam meraih penghargaan prestisius tersebut.
Keberhasilan Wukirsari menjadi contoh nyata bagaimana pelestarian budaya dapat beriringan dengan pengembangan ekonomi kreatif, menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan mengangkat nilai budaya Indonesia di mata dunia. Semoga keberhasilan ini menjadi inspirasi bagi desa-desa lain di Indonesia untuk mengembangkan potensi budaya lokal mereka.