Kecerdasan buatan (AI) tengah menjadi sorotan, tak hanya di perusahaan besar, namun juga usaha kecil dan menengah (UKM) di Indonesia. Potensi AI untuk mengotomatisasi tugas-tugas repetitif memang besar, namun dampaknya terhadap tenaga kerja perlu dikaji secara cermat. General Manager & Technology Leader IBM ASEAN, Catherine Lian, baru-baru ini memaparkan pandangannya mengenai hal ini.
Penerapan AI di Indonesia semakin meluas, digunakan untuk berbagai keperluan seperti otomatisasi pemasaran, prediksi stok, dan layanan pelanggan berbasis chatbot. Hal ini menandakan perubahan signifikan dalam lanskap bisnis di tanah air.
Dampak AI terhadap Tenaga Kerja: Tantangan dan Peluang
Catherine Lian menekankan bahwa AI berpotensi menggantikan pekerjaan yang bersifat repetitif dan administratif. Ini bisa terlihat pada otomatisasi tugas-tugas HR seperti menjawab pertanyaan umum, menangani pengajuan cuti, dan izin sakit.
Namun, alih-alih menjadi ancaman, AI juga bisa menjadi pendorong bagi peningkatan keterampilan pekerja. Perubahan ini, menurut Catherine, membutuhkan adaptasi dan peningkatan kompetensi tenaga kerja untuk tetap relevan.
Ia menggambarkannya sebagai sebuah piramida, di mana pekerja perlu naik ke tingkat yang lebih tinggi. Ini menuntut peningkatan keterampilan secara berkelanjutan seiring perkembangan teknologi AI.
Alasan Adopsi AI dan Strategi Implementasi yang Bijak
Tiga alasan utama perusahaan mengadopsi AI adalah efisiensi biaya, peningkatan produktivitas, dan perbaikan pengalaman pelanggan. Ketiga faktor ini menjadi daya tarik utama bagi berbagai sektor bisnis.
Namun, transformasi digital yang berbasis AI juga bisa memicu restrukturisasi organisasi dan pengurangan tenaga kerja, terutama di sektor operasional dan manufaktur. Oleh karena itu, perencanaan yang matang sangat krusial.
Catherine menekankan pentingnya evaluasi kesiapan internal sebelum mengadopsi AI. Adopsi teknologi ini merupakan proses jangka panjang yang memerlukan kesiapan teknologi, struktur bisnis, dan budaya organisasi yang suportif.
Ia menyarankan perusahaan untuk mempertimbangkan kembali langkah adopsi jika tidak ada dampak nyata terhadap produktivitas, efisiensi, atau kualitas SDM. Hal ini untuk menghindari investasi yang tidak efektif dan berpotensi merugikan.
AI: Bukan Sekadar Otomatisasi, Melainkan Pendorong Pertumbuhan
Catherine Lian menegaskan bahwa implementasi AI tidaklah seragam di semua sektor. Setiap perusahaan memiliki tahapan dan kebutuhan yang berbeda dalam penerapannya.
Transformasi digital dengan AI diibaratkannya sebagai sebuah maraton, bukan sprint. Hal ini menuntut kesabaran dan strategi yang tepat agar implementasi berjalan optimal.
Pada akhirnya, AI bukanlah sekadar alat otomatisasi, melainkan pendorong pertumbuhan bisnis. Namun, kesuksesan implementasi AI bergantung pada kesiapan semua pihak untuk beradaptasi dan berubah.
Perusahaan perlu membangun ekosistem yang mendukung pengembangan keterampilan karyawan, sehingga mereka dapat berkolaborasi dengan AI dan meningkatkan produktivitas secara keseluruhan. Hal ini akan memastikan transisi menuju era AI yang lebih adil dan berkelanjutan.
Kesimpulannya, adopsi AI di Indonesia sedang dalam tahap perkembangan yang pesat. Meskipun ada kekhawatiran terkait dampaknya terhadap tenaga kerja, dengan strategi yang tepat dan komitmen untuk mengembangkan keterampilan, AI dapat menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.