Legenda bulu tangkis Indonesia, Imelda Wiguna, baru-baru ini menyuarakan kekhawatirannya terhadap mentalitas atlet muda saat ini. Ia melihat kecenderungan atlet lebih mengejar peringkat demi sponsor daripada berjuang meraih gelar juara. Sebuah fenomena yang menurutnya perlu segera diatasi.
Perubahan paradigma ini, menurut Imelda, berdampak signifikan terhadap semangat juang para atlet muda. Hal ini berbeda jauh dengan era Imelda berjaya di dunia bulu tangkis.
Prioritas Sponsor vs. Semangat Juara
Pada masanya, Imelda dan para atlet sezamannya berjuang keras untuk meraih gelar juara. Tidak ada insentif besar jika gagal menjadi yang terbaik.
Imelda menegaskan, “Dulu kalau tidak juara ya tak dapat apa-apa. Jadi malu kalau tidak juara.” Prestasi, khususnya gelar juara, menjadi segalanya.
Berbeda dengan situasi saat ini. Sistem sponsor yang relatif merata untuk peringkat 1 hingga 10 dinilai mengurangi motivasi untuk menjadi yang terbaik.
Para atlet, menurut Imelda, “Masuk semifinal aja merasa aman karena sudah dapat sponsor.” Sistem ini, menurutnya, perlu dievaluasi ulang.
Ia menyarankan agar apresiasi lebih besar diberikan kepada atlet peringkat 1 hingga 4. Hal ini diyakini akan mendorong semangat kompetitif yang lebih tinggi.
Peran Klub dan Pelatnas dalam Pembinaan Atlet
Imelda juga menekankan pentingnya peran klub dalam membentuk dasar kemampuan atlet sebelum masuk pelatnas.
Pelatnas, menurutnya, seharusnya berfokus pada pengembangan taktik dan strategi. Pembinaan kemampuan dasar atlet seharusnya menjadi tanggung jawab klub.
Ia menambahkan, “Kalau ada mutu atlet pelatnas yang kurang bagus, itu tanggung jawab klub.” Klub-klub harus meningkatkan kualitas pembinaan agar pelatnas tidak membebani diri dengan hal-hal dasar.
Transfer ilmu dan teknologi dari pelatnas ke klub-klub juga sangat penting. Hal ini akan memastikan proses pembinaan yang lebih merata dan berkelanjutan di seluruh Indonesia.
Dukungan Pemerintah dan Integritas Data Atlet
Imelda juga menyoroti pentingnya dukungan pemerintah yang lebih nyata dalam pembinaan olahraga, khususnya bulu tangkis.
Ia menilai, “Olimpiade itu anggarannya sampai triliunan. Tapi PBSI dapat apa? Sampai hari ini belum maksimal perhatian dari pemerintah.”
Selain itu, ia juga mengapresiasi upaya menghidupkan kembali program pencarian bakat dan pendataan usia atlet secara akurat. Hal ini untuk mencegah manipulasi usia dalam turnamen.
Kejujuran data usia atlet sangat penting. Imelda menekankan, “Kasihan yang benar-benar muda dan berbakat tapi harus kalah karena lawannya ternyata umurnya lebih tua.”
Dengan demikian, persaingan akan lebih adil dan sportif.
Sebagai penutup, Imelda berharap ada pembenahan menyeluruh dalam sistem pembinaan atlet bulu tangkis Indonesia. Ia menginginkan generasi penerus yang tak hanya mengejar peringkat, tetapi juga memiliki mental juara sejati dan semangat membela Merah Putih.
Perubahan sistem pembinaan yang komprehensif, dengan peran klub yang lebih kuat, dukungan pemerintah yang maksimal, dan integritas data atlet yang terjamin, diperlukan untuk mencetak atlet-atlet bulu tangkis Indonesia yang berprestasi dan berkarakter.