Indonesia berkomitmen mengurangi emisi industri nikel hingga 81 persen pada tahun 2045. Komitmen ambisius ini diungkapkan Deputi Bidang Pangan, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, Leonardo A. A. T. Sambodo. Pengurangan emisi ini sejalan dengan target Indonesia untuk mencapai Net Zero Emissions sebelum tahun 2060. Langkah ini menjadi kunci dalam upaya Indonesia mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan rendah karbon.
Sebagai produsen nikel terbesar dunia dengan pangsa pasar mencapai 60 persen, Indonesia memiliki potensi signifikan untuk memimpin hilirisasi nikel yang ramah lingkungan dan berdaya saing tinggi. Hal ini ditegaskan dalam peluncuran Peta Jalan Dekarbonisasi Industri Nikel Nasional oleh Kementerian PPN/Bappenas dan World Resources Institute (WRI) Indonesia. Peta jalan ini merupakan langkah nyata dalam mendukung transisi energi berkelanjutan di Indonesia.
Strategi Dekarbonisasi Industri Nikel Indonesia
Peta Jalan Dekarbonisasi Industri Nikel Nasional dirancang sebagai masukan strategis dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 dan sejalan dengan target Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Proses penyusunannya melibatkan kolaborasi multi pihak yang luas, termasuk perusahaan tambang dan smelter nikel, kementerian/lembaga, dan akademisi.
Empat strategi utama dijabarkan dalam peta jalan ini. Strategi tersebut meliputi efisiensi energi dan material, penggantian bahan bakar, substitusi material, dan penggunaan listrik rendah karbon.
Prioritas pada Energi Bersih
Penggunaan listrik rendah karbon menjadi prioritas utama. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa sumber emisi terbesar di industri nikel berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) captive.
Indonesia berencana memanfaatkan potensi energi baru dan terbarukan (EBT) di wilayah penghasil dan pengolahan nikel. Sumber energi alternatif seperti surya, angin, air, biomassa, dan hidrogen hijau akan mengurangi ketergantungan pada batu bara.
Ancaman Peningkatan Emisi dan Solusi yang Diusulkan
Tanpa intervensi, WRI Indonesia memproyeksikan peningkatan emisi industri nikel hingga 86 persen pada tahun 2045. Ini menjadi alasan mendesak perlunya peta jalan dekarbonisasi.
Peta jalan ini merekomendasikan pembangunan pembangkit listrik EBT sebesar 47,3 gigawatt (GW). Termasuk di dalamnya adalah penambahan 5,1 GW pembangkit berbasis hidrogen hijau di Maluku Utara yang masih terbatas akses EBT-nya.
Penguatan infrastruktur gas alam cair dan biomassa juga termasuk dalam rekomendasi. Hal ini guna mendukung transisi energi yang lebih menyeluruh.
Selain itu, kebijakan harga energi rendah karbon yang kompetitif dan pembentukan standar nikel hijau Indonesia juga direkomendasikan. Standar ini akan mengatur penggunaan energi bersih dan emisi gas rumah kaca dalam proses produksi.
Kolaborasi dan Kepemimpinan Global
Dekarbonisasi industri nikel merupakan langkah awal transformasi tata kelola. Hal ini diungkapkan oleh Egi Suarga, Senior Climate Manager WRI Indonesia. Indonesia, dengan potensi nikelnya yang melimpah, dapat menjadi pemimpin global dalam memproduksi nikel rendah emisi dan bertanggung jawab.
Kolaborasi multi-pihak yang kuat dalam menyusun peta jalan ini menjadi bukti komitmen Indonesia. Lebih dari 30 perusahaan tambang dan smelter nikel, 15 kementerian/lembaga, serta akademisi telah berpartisipasi aktif.
Dengan komitmen yang kuat dan strategi yang terencana, Indonesia siap memimpin transisi menuju industri nikel yang berkelanjutan. Komitmen ini bukan hanya untuk mengurangi emisi, tetapi juga untuk mengamankan masa depan industri nikel Indonesia di tengah tuntutan global akan produk yang ramah lingkungan.