Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengusut tuntas kasus dugaan pemerasan izin kerja tenaga kerja asing (TKA) di Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker). Kasus ini melibatkan sejumlah pejabat dan staf khusus, mengungkap praktik korupsi yang telah berlangsung selama bertahun-tahun dan merugikan negara hingga puluhan miliar rupiah. Investigasi KPK kini fokus pada aliran dana yang diduga mengalir ke berbagai pihak, termasuk staf khusus menteri.
Penyidik KPK telah memeriksa sejumlah saksi kunci untuk mengungkap seluk beluk jaringan korupsi ini. Mereka berupaya melacak jejak aliran dana yang diduga terkait dengan para tersangka. Langkah ini penting untuk memastikan keadilan dan memperjelas peran setiap individu yang terlibat.
Aliran Dana ke Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja
Pemeriksaan terhadap Luqman Hakim, staf khusus Menteri Ketenagakerjaan era Hanif Dhakiri, menjadi salah satu fokus utama penyidikan. KPK mendalami dugaan adanya aliran dana dari para tersangka kepada para staf khusus Menaker. Pemeriksaan tersebut dilakukan pada Selasa, 17 Juni 2025.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengonfirmasi bahwa penyidik tengah menelusuri aliran dana tersebut. Informasi ini menjadi bukti penting untuk mengungkap jaringan korupsi yang lebih luas di Kemenaker.
Delapan Tersangka dan Dugaan Korupsi Rp53,7 Miliar
Pada 5 Juni 2025, KPK telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka dalam kasus ini. Mereka terdiri dari aparatur sipil negara (ASN) di Kemenaker, yaitu Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.
Kedelapan tersangka tersebut diduga telah mengumpulkan sekitar Rp53,7 miliar dari hasil pemerasan pengurusan RPTKA (Rancangan Persetujuan Penggunaan Tenaga Kerja Asing) selama periode 2019-2024. Besaran uang yang dikumpulkan menunjukkan skala korupsi yang sangat besar.
RPTKA: Kunci Pemahaman Kasus Pemerasan Izin Kerja TKA
RPTKA merupakan persyaratan penting bagi tenaga kerja asing untuk dapat bekerja secara legal di Indonesia. Tanpa RPTKA yang diterbitkan Kemenaker, izin kerja dan izin tinggal TKA akan terhambat.
Hal inilah yang dimanfaatkan oleh para tersangka untuk melakukan pemerasan. TKA yang membutuhkan RPTKA dengan cepat terpaksa memberikan uang kepada tersangka untuk mempercepat proses pengurusan, karena terancam denda Rp1 juta per hari keterlambatan. Sistem yang seharusnya melindungi justru dieksploitasi untuk keuntungan pribadi.
Dampak Sistemik Pemerasan Izin Kerja TKA
Praktik pemerasan ini tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga merusak kepercayaan investor asing dan menciptakan ketidakadilan bagi para TKA yang jujur. Sistem birokrasi yang rentan terhadap korupsi menciptakan lingkungan bisnis yang tidak sehat.
Pemerasan ini juga mengakibatkan hambatan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia karena menghambat masuknya investasi asing yang seharusnya dapat menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan produktivitas.
Sejak Era Cak Imin Hingga Ida Fauziyah
KPK mengungkapkan bahwa dugaan praktik pemerasan pengurusan RPTKA ini diduga telah terjadi sejak era Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin) menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2009-2014), dilanjutkan oleh Hanif Dhakiri (2014-2019), dan Ida Fauziyah (2019-2024).
Proses investigasi akan menelusuri kemungkinan keterlibatan pihak lain di berbagai periode tersebut. KPK membuka peluang untuk mengusut lebih jauh dugaan pemerasan yang terjadi di era menteri sebelumnya. Hal ini menunjukkan komitmen KPK untuk mengungkap kasus ini secara menyeluruh dan memastikan keadilan ditegakkan.
Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan. Upaya pencegahan korupsi harus terus ditingkatkan untuk menciptakan lingkungan yang bersih dan bebas dari praktik-praktik ilegal. KPK diharapkan mampu mengungkap semua pihak yang terlibat dan membawa mereka ke pengadilan agar mendapatkan sanksi yang setimpal. Pengungkapan kasus ini juga diharapkan dapat menjadi pelajaran berharga untuk memperbaiki sistem dan mencegah terulangnya kejadian serupa di masa mendatang.