Presiden Prabowo Subianto memberikan jam tangan Rolex kepada Timnas Indonesia setelah kemenangan atas China di Kualifikasi Piala Dunia 2026. Gestur apresiasi ini memicu kontroversi.
Reaksi beragam muncul, terutama dari kalangan atlet cabang olahraga lain. Kritik tajam dilontarkan, menyingkap ketidakadilan dalam pembinaan olahraga nasional.
Ketimpangan Alokasi Dana Olahraga: Sepak Bola vs Cabang Lain
Mantan atlet wushu nasional, Lindswell Kwok, menyoroti ketimpangan tersebut di media sosial. Ia mempertanyakan keadilan alokasi dana pemerintah untuk cabang olahraga.
Lindswell menilai sepak bola mendapat perhatian istimewa karena popularitas, bukan semata prestasi. Anggaran sepak bola disebut mendekati Rp200 miliar, jauh lebih besar dibanding cabang olahraga lain yang hanya menerima Rp10-30 miliar.
Atlet-atlet non-sepak bola, yang seringkali meraih prestasi internasional, justru kurang mendapat dukungan yang memadai. Kondisi ini menimbulkan kesenjangan yang signifikan.
Nasib Atlet Binaraga di Malang: Ayam Tiren untuk Porprov
Kisah menyedihkan datang dari Kabupaten Malang. Atlet binaraga Porprov 2025 terpaksa mengonsumsi “ayam tiren” (ayam mati) untuk memenuhi kebutuhan protein.
Ketua PBFI Kabupaten Malang, Indra Khusnul, menjelaskan keterbatasan dana pemerintah hanya mencukupi 10% kebutuhan. Ia bahkan menanggung sebagian besar biaya pelatihan dari kantong pribadi.
Kondisi ini menggambarkan realitas pahit atlet di daerah yang berjuang keras dengan keterbatasan sumber daya. Mereka berjuang keras demi nama Indonesia.
Kontras Tajam: Rolex vs Ayam Tiren, Cermin Keadilan Olahraga?
Perbandingan antara atlet sepak bola yang menerima hadiah mewah dengan atlet binaraga yang makan ayam tiren sangat kontras. Kondisi ini mencerminkan ketidakadilan sistemik.
Lindswell menegaskan kritiknya bukan ditujukan pada atlet sepak bola, melainkan pada kebijakan pemerintah yang tidak merata. Ia juga menyoroti pemulangan atlet junior Pelatnas via Zoom karena efisiensi anggaran.
Ketimpangan ini menunjukkan prioritas yang salah dalam pembinaan olahraga. Prestasi seharusnya dihargai di semua cabang olahraga, bukan hanya yang populer.
Menuju Keadilan dan Pemerataan dalam Olahraga Nasional
Untuk menciptakan keadilan, dibutuhkan perubahan sistem. Anggaran harus berbasis prestasi, bukan popularitas.
Transparansi alokasi dana, insentif bagi pelatih dan atlet daerah, serta monitoring distribusi fasilitas juga penting. Kemenpora dan KONI perlu berperan lebih besar.
Peristiwa ini seharusnya menjadi momentum untuk mereformasi sistem pembinaan olahraga agar lebih adil dan bermartabat bagi semua atlet.
Respons publik beragam, namun perdebatan ini penting untuk membuka diskusi nasional. Olahraga harus menjadi pemersatu bangsa, bukan alat politik. Mari pastikan tidak ada atlet yang harus makan ayam tiren demi mengharumkan nama Indonesia.